Kebiasaan orangtua saya dari dulu hingga sekarang adalah berladang dengan cara gotong royong atau bahasa kampungnya Balale'. Kegiatan ini telah ada bahkan sebelum saya direncakan lahir di dunia ini. Mereka terbiasa kerjasama untuk membuat ladang padi.
Saya ingat waktu itu masih kelas 2 SD diajak oleh bapak dan mamak ikut ke hutan. Di sana tanahnya tidak gambut tetapi memang tanah terpilih untuk berladang. Bapak yang kebetulan mulai menemukan passion sebagai pemuka adat tau betul cara membuka lahan baru. Dia membawa beragam peralatan dan kebutuhan sesuai adat yang berlaku kemudian meletakkan di pinggiran lahan yang akan jadi ladang.
Biasanya ini dilakukan H-3 membuka lahan, kami menamainya ngawah. Setelah 3 hari berikutnya, bapak akan membawa anggota kelompoknya untuk menebas ladang tersebut kemudian menebangi pohon besar yang akan menganggu lahan.
Ini tentu saja ada lagi adatnya, tidak sembarang tebas dan tebang seperti cari kayu cerukuk di tengah hutan. Lahan yang dibuka juga tidak besar, tak seluas kebun sawit atau lahan perumahan. Biasanya orangtuaku membuka lahan paling luas 500 meter hingga 1 hektar tapi lebih sering 500 meter dengan panjang dan lebar setara.
Kemudian, apa yang telah ditebas dan ditebang tadi dibiarkan kering hingga waktu tiba untuk bakar ladang, kami biasa menyebutnya nunu. Lagi-lagi, tidak boleh sembarangan, harus melakukan pelangkahan dengan penuh pertimbangan, mulai dari tanggal bagus hingga mata angin dan ada adatnya.
Sebelum api dinyalakan, wajib hukumnya membuat perantara dari lahan ladang dengan hutan di sekitar agar api tidak menyerobot ke lain. Parit-parit kecil digali dengan ukuran setengah meter dan mengelilingi lahan itu. Dan uniknya, mereka harus berjaga di berbagai sisi.
Saya pernah ikut beberapa kali dalam prosesi bakar lahan ini. Namun, yang lebih banyak hadir adalah laki-laki untuk membakar karena memang di tempat saya masih menerapkan bahwa laki-laki memiliki tenaga lebih kuat dari perempuan. Bakar lahan juga tidak dianjurkan pada saat kemarau panjang karena dapat menyebabkan kebakaran, mereka bahkan sengaja menunggu hujan turun 1x untuk membasahi bumi baru membakar dan akibatnya adalah api tidak melahap habis kayu-kayu besar sehingga ada proses lanjutan yakni merapikan kayu-kayu yang tak terbakar atau rumput yang masih ada dan biasa kami menamainya ngalese'.
Selama bertahun-tahun ikut berladang belum pernah mendapati ada kebakaran hebat atau menyebabkan kabut yang tiada henti. Karena sebenarnya masyarakat adat itu cerdas, lelulur mengajarkan berguru pada alam. Mereka bahkan lebih jago memprediksi hal-hal yang merugikan dan yang membuat saya kagum adalah mereka sangat jujur dalam segala hal, tidak ingin mendapat keuntungan sendiri tetapi mengedepankan kepentingan banyak orang.
Jika dibilang berladang pindah-pindah, itu tidak setiap tahun. Saya ingat selama bertahun-tahun lokasi ladang kami tetap saja di tempat yang sama tetapi memang di bakar dan prosesinya sama dengan sebelumnya. Kemungkinan yang membuat pindah berladang adalah jika tempat tinggal berpindah karena prinsipnya semakin sering lahan itu digunakan untuk ladang maka kemungkinan padi subur sangat besar dan tentu saja tidak perlu lagi menebang pohon tetapi hanya membersihkan ruput nakal saja.
Maka tidak heran jika masyarakat adat selalu berladang tetapi hutan mereka masih utuh karena darisanalah mereka hidup. Dan saya yang memang lahir dan belasan tahun hidup di hutan rimba sangat mencintai hutan, darisanalah makanan sehat dan udara segar itu datang. Apapun yang mau disantap telah tersedia tanpa harus merogoh dompet. Segala buah, sayur, daging, dan ikan dapat dinikmati semaunya. Semua tersedia dengan penuh kecukupan.
Berladang dengan masyarakat adat itu sangat menyenangkan dan tidak terlupakan. Sayangnya, semenjak merantau dari SMA hingga kuliah saya sangat jarang ikut berladang lagi. Tapi masih menikmati cerita suka duka berladang dari orangtua dan tetangga.
Kini, mereka khawatir membuka lahan karena takut masuk penjara akibat membakar lahan. Bahkan, tahun ini karena kemarau panjang orangtuaku memutuskan tidak berladang lagi karena 2 tahun terakhir baru saja bakar sedikit lahan langsung datang helikopter tak diundang menyiramkan air pada ladang mereka.
Saya ingat kejadian setahun lalu betapa takutnya mamak ketika gemuruh helikopter dan dengan gagah menurunkan balon air ke ladang mamak dan tetangga. Mereka mencari tempat yang aman karena takut dijatuhi air dari helikopter itu, keselamatan terancam. Dengan tergesa-gesa saya datang ke ladang dan menyaksikan betapa heroiknya helikopter itu memadamkan titik-titik api di ladang mamak dan yang lainnya.
Saya sedih, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Kerjaan orangtua saya dan anggota kelompoknya akan bertambah, mereka akan ngalese' lagi. Tapi, apa yang bisa saya lakukan selain ikut meratapi nasib keluarga saya yang kini berladangpun takut. Biasanya padi yang menghijau, mentimun berjejeran dan sayur mayur lain siap dipanen di ladang tetapi sekarang semua hanya rumput hijau.
Mereka takut, mereka tak berani berurusan dengan jeruji. Kini kami hanya mampu meratapi dan mungkin saja akan meninggalkan kebiasaan lelulur untuk bertanam padi.
Dulu di daerahku juga pernah ada maklumat larangan untuk membakar lahan ladang. Tapi masyarakat audiensi sama pihak pemda, sekarang udah aman. Hehe. Kadang gitulah, pemerintah kasi aturan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Padahal kenyataannya masyarakat adat punya perlakuan yang berbeda terhadap lingkungan, mereka punya keterikatan yg membuat perlakuan mereka lebih hati-hati. Ini ditunjukkan dengan adanya berbagai ritual dan aturan serta tahapan dalam berladang. Makanya aturan kayak gini harus dikaji lsgi, lingkungan seperti apa yang harus diawasi dan ditindak tegas.
ReplyDeleteiya bener..tapi sayangnya peraturan sering datang tanpa melihat ke lapagan sehingga peraturan itu tak tepat sasara
ReplyDeleteiya bener..tapi sayangnya peraturan sering datang tanpa melihat ke lapagan sehingga peraturan itu tak tepat sasara
ReplyDelete