Pernah putus asa mengerjakan skripsi karena sering di tolak dosen? Hampir semua mahasiswa tingkat akhir mengalami ini. Rasanya ingin berhenti saat itu juga dan tak ingin melanjutkan apalagi menyelesaikan.
Saya juga pernah mengalami pahitnya coretan dosen ketika mengarap skripsi. Tapi, apakah akhirnya berhenti? Tidak, bagi saya coretan itu adalah motivasi untuk menorehkan hal baik di kemudian hari. Revisi demi revisi dilewati meski dikerjakan perlahan, datang revisi sebulan sekali tapi tidak dilupakan.
Proses itu berjalan begitu saja hingga menggarap skripsi yang hanya lima bab itu menelan waktu setahun penuh. Harusnya tiga bulan dapat selesai tapi rasanya sulit untuk dikerjakan secepat itu. Lamanya pengerjaan skripsi ini tidak membuat saya berlarut dalam lautan kesedihan meski tak bisa dipungkiri sangat jarang ikut acara wisudaan teman karena tidak kuat harus memikul beban pertanyaan "Kapan Wisuda"
Hingga saat ini, moment wisuda teman akan menjadi tantangan untuk kita yang belum menyelesaikan skripsi atau belum ada tanda-tanda sidang akhir. Rasanya ada benturan dari seluruh sisi hingga kita merasa terpojok dan semangat naik turun.
Rasanya waktu terhenti sejenak dan kita hanya bisa melihat sesaat dan nyatanya masih harus kembali ke kampus, menunggu dosen dan siap dengan semua coretan. Waktu terus berjalan, coretan demi coretan di dapatkan, tak pandang hari maupun jam, setiap ketemu dosen , siap-siaplah untuk dicoret.
Coretan-coretan itu bukanlah coretan untuk mimpi kita yang mengejar gelar sarjana agar bisa melangkah lebih jauh entah itu hendak menikah, bekerja atau melanjutkan pendidikan. Coretan ini hanya jadi pemantik, sejauh mana mental kita mampu berjuang.
Semua revisi yang diberita ketika mengarap bab I hingga bab V bukanlah tantangan serius. Namun, ada hal yang membuat saya benar-benar jatuh. Rasanya hilang semangat dan tidak bersyukur ini baru terjadi setelah saya berusia puluhan tahun.
Hari itu, teman baik saya Sidang Akhir dan dia siap menyandang gelar sarjana. Hari yang sama tapi lebih awal saya dijadwalkan untuk seminar hasil. Bahagia tak terhingga karena di hari yang sama kami akan berjuang meski saya masih harus melewati satu tahap lagi sementara dia tidak.
Semua kebutuhan seminar sudah disiapkan dan mental juga sudah saya matangkan untuk menghadapi para dosen penguji. Tapi apa yang terjadi, ketika di ruang seminar saya memaparkan semuanya dan tanya jawab berlangsung. Apa yang saya kerjakan, setahun penuh saya berjuang tapi dianggap gagal bahkan tidak ternilai. Padahal, seluruh waktu dan tenaga bahkan materi juga saya keluarkan untuk menunjang penelitian dan menyelesaikan sebuah skripsi.
Mengalami itu semua, rasanya seluruh mimpi menjadi seorang sarjana sirna, sejenak terbesit untuk berhenti kuliah meski tinggal seminar dan sidang akhir saja. Sepanjang waktu saya menyepikan diri sendirian di kamar, menangis dan meratapi diri.
Keinginan itu semakin kuat karena menganggap diri mampu bekerja tanpa bantuan ijazah. Gumpalan kesedihan semakin memuncak karena melihat teman-teman sudah menyandang gelar. Tapi apa daya, seminar hasil hari ini di tolak karena menurut dosen penguji apa yang dikerjakan tidak sesuai sehingga harus dibuat ulang.
Beruntunglah, putus asa itu tidak berlangsung lama karena pikiran langsung melayang kepada kedua orangtua. Sudah sejak lama mereka menghendaki anak bungsunya menggunakan toga dan berfoto bersama. Dengan tekad memenuhi keinginan orangtua, akhirnya membuka semangat baru dan memutuskan untuk mengulang tugas akhir. Semangat baru dan lembaran baru akhirnya revisi diselesaikan dalam dua minggu dan dapat seminar hasil kembali sehingga bisa lanjut sidang akhir.
Dari itu semua saya berpikir bahwa setiap orang memiliki titik jatuhnya masing-masing tetapi harus tetap bangkit meski sulit. Pikirkanlah apa yang ingin kita capai dan apa yang memotivasi kita. Terutama untuk urusan skripsi, orangtua pasti sangat berharap anaknya segera menyelesaikannya, ini juga yang dapat memotivasi untuk kita segera menyelesaikannya.
Kita punya kesempatan untuk putus asa tetapi tidak untuk terus terpuruk di lingkarannya. Harus tetap bangkit dan memulai agar dapat menyelesaikan segala permasalahan.
Saya juga pernah mengalami pahitnya coretan dosen ketika mengarap skripsi. Tapi, apakah akhirnya berhenti? Tidak, bagi saya coretan itu adalah motivasi untuk menorehkan hal baik di kemudian hari. Revisi demi revisi dilewati meski dikerjakan perlahan, datang revisi sebulan sekali tapi tidak dilupakan.
Proses itu berjalan begitu saja hingga menggarap skripsi yang hanya lima bab itu menelan waktu setahun penuh. Harusnya tiga bulan dapat selesai tapi rasanya sulit untuk dikerjakan secepat itu. Lamanya pengerjaan skripsi ini tidak membuat saya berlarut dalam lautan kesedihan meski tak bisa dipungkiri sangat jarang ikut acara wisudaan teman karena tidak kuat harus memikul beban pertanyaan "Kapan Wisuda"
Hingga saat ini, moment wisuda teman akan menjadi tantangan untuk kita yang belum menyelesaikan skripsi atau belum ada tanda-tanda sidang akhir. Rasanya ada benturan dari seluruh sisi hingga kita merasa terpojok dan semangat naik turun.
Rasanya waktu terhenti sejenak dan kita hanya bisa melihat sesaat dan nyatanya masih harus kembali ke kampus, menunggu dosen dan siap dengan semua coretan. Waktu terus berjalan, coretan demi coretan di dapatkan, tak pandang hari maupun jam, setiap ketemu dosen , siap-siaplah untuk dicoret.
Coretan-coretan itu bukanlah coretan untuk mimpi kita yang mengejar gelar sarjana agar bisa melangkah lebih jauh entah itu hendak menikah, bekerja atau melanjutkan pendidikan. Coretan ini hanya jadi pemantik, sejauh mana mental kita mampu berjuang.
Semua revisi yang diberita ketika mengarap bab I hingga bab V bukanlah tantangan serius. Namun, ada hal yang membuat saya benar-benar jatuh. Rasanya hilang semangat dan tidak bersyukur ini baru terjadi setelah saya berusia puluhan tahun.
Hari itu, teman baik saya Sidang Akhir dan dia siap menyandang gelar sarjana. Hari yang sama tapi lebih awal saya dijadwalkan untuk seminar hasil. Bahagia tak terhingga karena di hari yang sama kami akan berjuang meski saya masih harus melewati satu tahap lagi sementara dia tidak.
Semua kebutuhan seminar sudah disiapkan dan mental juga sudah saya matangkan untuk menghadapi para dosen penguji. Tapi apa yang terjadi, ketika di ruang seminar saya memaparkan semuanya dan tanya jawab berlangsung. Apa yang saya kerjakan, setahun penuh saya berjuang tapi dianggap gagal bahkan tidak ternilai. Padahal, seluruh waktu dan tenaga bahkan materi juga saya keluarkan untuk menunjang penelitian dan menyelesaikan sebuah skripsi.
Mengalami itu semua, rasanya seluruh mimpi menjadi seorang sarjana sirna, sejenak terbesit untuk berhenti kuliah meski tinggal seminar dan sidang akhir saja. Sepanjang waktu saya menyepikan diri sendirian di kamar, menangis dan meratapi diri.
Keinginan itu semakin kuat karena menganggap diri mampu bekerja tanpa bantuan ijazah. Gumpalan kesedihan semakin memuncak karena melihat teman-teman sudah menyandang gelar. Tapi apa daya, seminar hasil hari ini di tolak karena menurut dosen penguji apa yang dikerjakan tidak sesuai sehingga harus dibuat ulang.
Beruntunglah, putus asa itu tidak berlangsung lama karena pikiran langsung melayang kepada kedua orangtua. Sudah sejak lama mereka menghendaki anak bungsunya menggunakan toga dan berfoto bersama. Dengan tekad memenuhi keinginan orangtua, akhirnya membuka semangat baru dan memutuskan untuk mengulang tugas akhir. Semangat baru dan lembaran baru akhirnya revisi diselesaikan dalam dua minggu dan dapat seminar hasil kembali sehingga bisa lanjut sidang akhir.
Dari itu semua saya berpikir bahwa setiap orang memiliki titik jatuhnya masing-masing tetapi harus tetap bangkit meski sulit. Pikirkanlah apa yang ingin kita capai dan apa yang memotivasi kita. Terutama untuk urusan skripsi, orangtua pasti sangat berharap anaknya segera menyelesaikannya, ini juga yang dapat memotivasi untuk kita segera menyelesaikannya.
Kita punya kesempatan untuk putus asa tetapi tidak untuk terus terpuruk di lingkarannya. Harus tetap bangkit dan memulai agar dapat menyelesaikan segala permasalahan.
Post a Comment
0Comments