Cerita Gadis Rimba : Aku Masuk SMP
Hariku sama sekali berubah ketika memasuki fase baru, putih biru. Sekolah depan rumah, hanya butuh 5 menit jalan kaki. Aku dan kakaku hampir tidak pernah merasakan namanya jajan di kantin karena setiap istirahat selalu pulang dan makan di rumah. Uang jajan juga hampir tidak pernah dikasih, mungkin hanya sesekali saja. Di bangku SMP, aku cukup dekat dengan semua guru karena aku terpilih menjadi sekretaris kelas, kayaknya dari kelas 1 sampai kelas 3.
Kalau ada tugas atau apapun pasti guru menyerahkan kepadaku, tak heran jadi sering komunikasi. Aku merasa selama SMP aku cukup produktif, belajar setiap hari, mengulang semua pelajaran yang diberikan oleh guru ketika di rumah lalu mempelajari pelajaran yang akan datang. Buku catatanku juga sangat rapi, aku membeli satu buah buku jurnal dan menggabungkan semua buku catatan di sana.
Aku menghiasnya, membeli pulpen empat warna agar aku jadi suka membacanya karena rapi dan cantik dengan berbagai hiasan yang aku buat. Guru kami waktu itu ada 2 orang yang masih gadis, kadang mereka menginap di rumah dinas karena mereka dari Pontianak. Setiap guru ini menginap, kami selalu datang malam ke rumah dinas mereka dan belajar MTK atau Fisika. Kalaupun ibu ini tidak menginap, ada waktu setelah pulang sekolah untuk belajar sambil menemani dia menunggu bis.
Aku juga sering membeli buku ke guruku, biasanya rumus mudah fisika yang dibelikannya di Gramedia, lewat buku ini juga aku sering belajar dan kalau ada yang tidak tahu, akan diberi tanda untuk ditanyakan ke guruku nantinya. Mungkin kebiasaan kecil yang dulu aku lakukan terus belajar setiap hari akhirnya dari kelas satu hingga kelas tiga selalu peringkat pertama dan menjadi lulusan terbaik di sekolah. Proses akan setia dengan hasil.
Proses belajar kami itu sederhana, sekolah yang ternyata jaraknya hanya sekitar 2 jam perjalanan mobil dari pusat ibukota provinsi tidak ada listrik dan jaringan. Setiap akan praktik komputer, kami satu kelas patungan untuk membeli solar. Komputer di sekolah tidak banyak jadi digunakan berkelompok 3 hingga 5 orang untuk satu komputer. Kamipun sangat jarang praktik komputer dan aku masih gemetaran saat pegang mouse. Minimal bisa hidup dan matikan komputer udah sangat bagus.
Selama SMP, kami anak-anak sekolah di kampung trans local ini memang mencari uang sendiri. Sepulang sekolah, kami makan lalu pergi ke hutan untuk mencari kayu cerucuk (kayu yang digunakan untuk buat pondasi rumah). Laki-laki atau perempuan sama, semua berangkat ke hutan. Kayu yang dicari mulai dari sebesar pergelangan tangan laki-laki dewasa hingga sebesar betis dengan ukuran 4 meter dan 12 meter.
Tapi aku hanya mencari yang 4 meter satu. Satu batang dihargai 1.200 rupiah dan biasanya satu kali gajian kami bisa mendapatkan uang 200 hingga 300 ribu. Kalau hari libur kami bisa bekerja seharian, makan juga di hutan tapi kalau sekolah hanya setengah hari, setelah pulang sekolah. Cari cerucuk ini tidak gampang, kita harus menebang pohon, kalau ada akar maka akan tersangkut dan kita harus menaikinya atau menariknya. Terkadang juga setelah kita tebang, dengan sangat cepat kayu itu tertanam lagi di tanah dan kita harus mencabutnya. Setengah hari bisa dapat 20 hingga 30 batang.
Lalu, setelah dikumpulkan, kita akan memikul dan membawanya ke luar, dekat dengan parit. Jaraknya tergantung, kadang hanya 800 meter tapi kadang hingga satu kilometer. Capek, pasti tapi tetap semangat demi membayar uang sekolah dan juga membeli kebutuhan pribadi, baju atau celana dan sandal sepatu. Saat kayu dijual dan terima uang, rasanya bangga luar biasa. Saat itu aku berhasil beli handphone nexian warna merah seharga 850 ribu, dari uang cerucuk. HP ini ada musiknya jadi ada hiburan saat cari kayu cerucuk atau saat belajar.
Itu HP keduaku, yang pertama dikasi sama abang, HP nokia 1800 yang hanya bisa SMS untuk kirim salam lewat radio. Sejak dulu hingga sekarang, di rumah ada tempat tertentu yang ada sinyalnya, dan HP tertentu yang mudah menangkap sinyal, kedua HP ku itu bisa. Kenapa aku beli HP padahal sudah ada nokia 1800? HP itu keyboardnya rusak, ada beberapa huruf tidak bisa berfungsi padahal kadang aku SMS guruku tanya pelajaran yang aku tidak mengerti tapi dengan HP baru, SMS jadi lancar.
Selain mencari kayu cerucuk, kelas 2 SMP, ada satu perusahaan sawit datang di tempat kami. Kami mulai melirik pekerjaan yang lebih ringan, mengisi tanah dalam kantong untuk pembibitan. Satu kantong dihargai 50 rupiah. Sehabis pulang sekolah, kami bergegas ke kebun sawit untuk isi kantong. Memang penghasilannya tidak sebesar cari kayu karena beban kerjanya juga ringan, kita duduk di bawah terpal, ada orang yang nyangkul tanah, kita hanya tau mengisi kantong saja. Kadang, gajian hanya 80 ribu per dua minggu. Maka, kami selang seling, kadang tetap cari kayu cerucuk kadang isi kantong.
Post a Comment
0Comments