Cerita Gadis Rimba : Guruku Puasa
Sejak kecil, aku sudah tinggal di lingkungan yang sama budaya dan agamanya. Tapi, ketika SMP, hampir semua guruku berasal dari Pontianak dan mereka yang perempuan menggunakan penutup kepala (baca: hijab). Aku agak heran dengan itu, karna belum pernah ada sebelumnya pemadangan seperti ini. Tapi aku tidak pengen tahu, mereka baik dan tak masalah dengan pakaian mereka yang serba panjang. Satu hari aku menawarkan makanan kepada Bu Nevi, guru yang kebetulan aku dekat sama dia karena sering belajar bersama sepulang sekolah atau ketika Bu Nevi dan Bu Hani menginap di rumah dinas sekolah.
“Maaf Isa, ibu puasa”
“Puasa, apa puasa bu?” tanyaku kebingungan.
“Puasa itu saat kita harus menahan hawa nafsu dan tidak boleh makan dalam waktu tertentu. Nanti akan ada jam berbuka, tapi ketika ibu sudah pulang,” jawabnya.
Baiklahku pikir. Tapi, ketika lewat kantor, aku melihat guruku yang lain sedang santap siang, padahal mereka menggunakan pakaian yang sama-sama panjang dan penutup kepala.
“Ibu Hani ngga puasa ya bu?” tanyaku
“Engga Isa, dia lagi halangan,” jawab bu Nevi. Guru IPA yang selalu jadi teman belajarku di luar jam sekolah. Kadang juga aku belajar MTK kepadanya meski dia bukan guru MTKku.
Bu Nevi bilang, perempuan itu istimewa, saat halangan (baca: datang bulan) tidak boleh puasa tapi akan diganti nanti, setelah Idul Fitri. Setelah sekian lama aku baru tau ada istilah puasa yang tak boleh makan dan minum karena kalau puasa yang aku jalani adalah boleh makan dan minum hanya saja porsinya dikurangi.
Meski hampir semua guru kami beragama Islam kecuali guru agama dan muridnya lebih banyak non-muslim, sama sekali tidak ada perbedaan, justru semua berjalan apa adanya dan saling menghargai. Mereka semuanya sangat baik, Bu Nevi, Bu Haryani yang kami sapa Bu Hani, Bu Aisyah, Bu Sum, Bu Umi, Bu Fatma, Bu Erna, Pak Ahmad, Pak Heri, dan Alm. Pak Cipto.
Perjalanan putih biru telah usai, putih abu-abu telah menunggu.
Post a Comment
0Comments