Cerita Gadis Rimba : Kami Pindah
Semua surga dan hari-hari yang manis itu
tinggal kenangan, tahun 2004 kami menjadi warga trans local dari program
pemerintah. Pindah dari kampung hutan rimba menuju peradaban baru. Senang bukan
main karena ini pertama kalinya bertemu dengan batu, saat itu jalanan dengan
tanah merah dan batu. Saat pindah di rumah ukuran 6x6 papan berwarna putih itu,
kami sangat bahagia, entah mengapa. Padahal di sini tidak ada apa-apa, rumah
hanya satu kamar dan kecil padahal kami masih ramai, tidak ada pohon langsat,
tak ada pula asam mangga apalagi jambu mawar. Jangan berharap bisa mancing ikan
untuk makan malam, di sekitar rumah hanya ada pakis. Tanah gambut yang entah
bisa atau tidak kita hidup di sini. Tapi, menghadapi lingkungan baru, sebagai
anak kecil aku selalu bahagia, aku juga tidak tahu pertimbangan orangtua ku
memilih pindah di sini, mungkin inilah pilihan terbaik.
Aku tidak lagi ke sekolah lewat jalan
tikus dan bermain hingga sore di jalanan menuju rumah, tak ada lagi kelai
karena rebutan bunga paname atau di
tarik kaki ketika menyebrang sungai, tak ada lagi kejar-kejaran di jalan demi
dengarkan serial radio, dan satu yang aku sedih. Temanku, Romi dan Marcel tidak
ikut pindah, aku sendiri.
Kini, semua benar-benar berubah seratus
persen, aku ke sekolah tetap jalan kaki dan kami telah bergabung tak lagi orang
jelau atau orang hilir. Mobil banyak lalu lalang, kesempatan kami menumpang di
pick up atau tronton. Pergi atau pulang sekolah selalu begitu, dulu kami
bahagia berlarian di tengah hutan, tapi sekarang di jalan panas sekali jadi
harus menumpang mobil yang berbaik hati mau bawa kami. Dulu, jalan kaki dua jam
rasanya mudah tapi sekarang 20 menit saja susah karena tak ada pohon di pinggir
jalan, tak ada keteduhan suara burung dan tak melihat buah yang bisa dimakan.
Semua hanya bebatuan dan pohon yang entah apa namanya, yang jelas tidak ada
sumber makanan di sana.
Kelas 5 SD, aku dibelikan sepeda warna
merah sama bapak, rasanya sangat bahagia karena tak perlu lagi nyetop pick up
atau truck bahkan tronton untuk tumpangan pulang atau pergi. Tapi celaka,
sepeda ini suka lepas rantainya, kadang aku nangis karena di tinggal
teman-teman pas rantai lepas. Tapi begitulah, kadang rindu tempat lama, tak
mengenal sepeda, sepeda motor bahkan mobil. Semua serba alami dan menyenangkan,
cuma sekarang lebih cepat saja.
Semasa aku kecil, santer kabar penculik
anak yang kamipun takut sekali. Suatu malam, aku dan 5 orang teman pergi ke
kampung sebelah demi nontong angling dharma. Jalan berurutan dua dua orang,
kalau ada lampu mobil, kami langsung mangkir di semak-semak pinggir jalan sampai
mobil berlalu, begitu terus hingga akhirnya sampai juga di tempat kami akan
nonton. Tapi kami tidak bisa pulang karena hujan deras, anak kecil 6 orang
inipun menginap di rumah yang punya tv itu.
Aku ingat, ada Aneng dan Monika, yang
lainnya sudah lupa. Aneng memang temanku sedari dulu, bahkan dari kami masih di
Sarapo. Tempat orangtua berladang. Di sana hanya ada aku dan abangku, Aneng dan
abangnya, kami berempat saja anak kecil lalu ada orangtua. Jarak pondok kami
dan pondok mereka mungkin ada sekitar 800km tapi kami komunikasi dengan
cangkang kura-kura yang sudah dikeringkan. Aku atau abangku akan memukul,
memberi kode kalau kami ada di pondok, kalau ada jawaban suara berarti mereka
juga ada. Aku dan abangku akan segera ke sana. Monika adalah sepupuku, anak
dari adik kandung mamakku. Kami bertiga berteman setelah sama-sama pindah di
kampung baru.
Perkara nonton ini memang dari dulu selalu
tidak mau ketinggalan, kalau di kampung lama kami beramai-ramai dengar radio
tapi sekarang nonton tv. Dulu kami punya radio dan orang-orang datang ke tempat
kami tapi sekarang kami tidak punya tv, harus pergi ke kampung sebelah tak
peduli banjir atau hujan, jalan kaki demi nonton. Tapi kadang kami pergi dengan
kakak-kakak biar tak terlalu takut pulang malam. Tahun itu, tak satupun di
kampung trans kami yang punya tv.
Orangtuaku mulai membersihkan pekarangan,
melayakkan tanah gambut ini jadi surga baru bagi kami di masa depan. Rumput
menghijau yang hampir semua adalah pakis. Sedikit demi sedikit pekarangan mulai
kelihatan layak di huni. Tidak lama kami pindah, ternyata kepindahan kami ini
diliput oleh media. Rumah kami yang dinaiki oleh Pak Gubernur di periode itu,
kami masuk televisi dan Koran. Senang bukan main, tak pernah sebelumnya melihat
orang memanggul kamera besar atau perekam suara. Ini bedanya saat tinggal di
hutan, kami memotret hanyak dengan siku dan suara dari mulut, sekarang melihat
langsung rasanya sangat takjub. Aku sangat bahagia bisa berdiri di samping pak
Gubernur, kukenakan baju power ranger warna pink kesayanganku. Entah apa yang
ditanyakan para wartawan itu aku juga tidak ingat.
Pekarangan rumah semakin layak dan kami
tetap hidup di sini sudah dua tahun, ada tanaman sayuran yang sudah kami
nikmati. Memang, kegigihan bapak dan mamak tak diragukan, pagi hingga sore
mereka ke ladang, ada saja yang di bawa pulang. Sayuran kampung seperti dulu
masih ada, terong asam, kacang panjang, sawi kampung, mentimun juga sering di
panen. Jagung tak ketinggalan, rasa rindu kampung lama cukup terobati dengan
kehadiran makanan lama.
Post a Comment
0Comments